Selasa, 24 Juni 2008

Ilham Reza Ferdian
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI)

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah. Ini sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN ini telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 pada 7 Mei 2008.

Banyak kalangan yang menyayangkan DPR dan Presiden baru saja menyetujui UU SBSN sebagai alternatif penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Padahal, menurut Islamic Financial Information Service (IFIS) banyak negara yang telah menerbitkan Sukuk.

Malaysia, misalnya, sejak Juli 2002 telah menerbitkan Malaysia Global Sukuk sebesar 600 juta dolar AS dengan HSBC sebagai arranger/advisor. Selain itu, Jerman, negara yang mayoritas penduduknya adalah non-Muslim, pada Juni 2004 telah menerbitkan Sukuk Saxony Anhalt State Properties dengan CitiGroup dan KFH sebagai arranger/advisor.

Yang menarik adalah Bank Dunia yang selama ini terkesan menjadi lintah darat internasional bagi negara-negara berkembang sudah menerbitkan sukuk pada 2005 (April) sebesar 760 juta dolar AS dengan CIMB dan ABN Amro Bank Bhd sebagai arranger/advisor. Fenomena penerbitan sukuk di berbagai negara ini merupakan suatu hal yang lumrah, mengingat pesatnya pertumbuhan aset pasar keuangan syariah, yaitu sekitar 15 persen per tahun.

Selain itu, ada dua hal lain yang ikut memicu terjadinya fenomena tersebut, yaitu repatriasi dana-dana Timur Tengah pasca 9 November dan berlebihnya likuiditas keuangan yang di negara Timur Tengah akibat dari harga minyak yang semakin menggila dari waktu ke waktu. Walaupun Indonesia, melalui pemerintahnya, baru saja menerbitkan suatu perundangan yang mengatur tentang penerbitan sukuk ini, bukan berarti Indonesia sudah terlambat sama sekali untuk menerbitkan sukuk dalam upaya mendapatkan kue dari sukuk. Fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia bisa menjadi salah satu faktor penguatnya.

Rencana penerbitan SBSN

Berdasarkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang diselenggarakan oleh Departemen Keuangan RI pada 29 Mei 2008, untuk tahun ini penerbitan SBSN ditujukan untuk membiayai APBN secara umum (general purpose financing) dengan menggunakan jenis akad ijarah (sale & lease back). Dengan akad ini pemerintah menjual hak manfaat Barang Milik Negara (BMN) yang sudah ada (dapat berupa tanah dan/atau bangunan) kepada investor melalui perantara Special Purpose Vehicle (SPV), lalu menyewa kembali hak manfaat BMN tersebut dari investor terkait.

Adapun imbalan yang diberikan pemerintah kepada investor adalah sewa yang dapat dibayarkan secara tetap atau mengambang yang dibayarkan periodik. Saat jatuh tempo sukuk (5-10 tahun), pemerintah akan mendapatkan kembali hak pemanfaatan BMN tersebut dari investor.

Melihat pada rencana di atas, tampaknya SBSN tidak jauh berbeda dengan SUN dalam hal peruntukan dana. Yang menambah kerisauan penulis adalah fakta bahwa APBN yang akan dibiayai oleh instrumen syariah ini telah mengalami kebocoran dana mencapai di atas 15 persen atau puluhan triliun rupiah yang diakibatkan oleh bobroknya mental sebagian birokrat serta lemahnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran oleh DPR. Hal inilah yang seharusnya membuat pemerintah lebih mentadaburi peruntukan dana SBSN.

Harapan bagi SBSN
Kondisi ideal di mana SBSN semestinya berfungsi sebagai instrumen yang dapat mempercepat perbaikan pembangunan infrastruktur di Indonesia, diharapkan tidak lagi menjadi pekerjaan rumah yang waktu pengumpulannya tidak menentu. Hal ini karena SBSN merupakan media yang sangat cocok bagi pembiayaan proyek infrastuktur di Indonesia yang membutuhkan dana sebesar Rp 40 triliun per tahun.

Pemerintah harus segera mengarahkan penerbitan SBSN Indonesia ke kondisi ideal tersebut. Ada kondisi SBSN akan dapat menjaring dana-dana investor domestik dan asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur, seperti sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat. Sesungguhnya baiknya infrastuktur di Indonesia tidak hanya akan bermanfaat bagi peningkatan minat investor dalam menginvestasikan dananya di Indonesia, tetapi juga bagi rakyat Indonesia.

Membaiknya infrastruktur pada akhirnya akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan serta mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia yang selama ini menjadi salah satu faktor tindak kriminalitas. Jika peruntukan SBSN Indonesia sudah semakin jelas, insya Allah akan semakin nyatalah bukti manfaat dari sistem ekonomi syariah di Tanah Air.

SUMBER : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=338696&kat_id=16

Momentum Emas Perbankan Syariah

Oleh : Adiwarman A. Karim

Tahun 2008 benar-benar menjadi tahun istimewa bagi industri perbankan syariah Indonesia. Betapa tidak, sejumlah hal berikut ini menjadi penyebabnya.

Pertama, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan instrumen baru berupa Surat Berharga Indonesia (SBI) Syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas bank-bank. Dengan SBI Syariah, bank-bank syariah yang selama ini terpaksa menahan laju pertumbuhan dana pihak ketiga–padahal kelebihan likuiditas hanya akan membebani bank syariah yang akan menggerus keuntungan dan memperkecil bagi hasil–telah teratasi.

Hebatnya lagi, ketentuan yang membatasi hanya bank-bank syariah dengan FDR (financing to deposit ratio) minimal 80 persen, akan mencegah bank-bank syariah melupakan fungsi intermediasinya. Di Malaysia, FDR bank-bank syariah hanya lebih sedikit dari 50 persen karena penempatan ekses likuiditas di bank sentral yang memberikan return yang sama dengan penempatan bank konvensional di bank sentral. Lelang pertama pada 2 April 2008 dengan peserta tiga Bank Umum Syariah (BUS) dan 10 Unit Usaha Syariah (UUS) menyerap Rp 1,1 triliun dengan imbal hasil 7,9 persen.

Kedua, BI menerbitkan SE No.10/14 yang mengembalikan peran bank syariah sebagai pemberi pembiayaan setelah selama bertahun-tahun sejak 2003 bank syariah diposisikan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Berbagai PBI telah disempurnakan sehingga persoalan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pembiayaan syariah menjadi landasan yang kuat bagi Dirjen Pajak untuk tidak mengenakan pajak ganda yang akan membuat bank syariah sama kompetitifnya dengan bank konvensional.

Ketiga, rapat paripurna DPR pada 9 April 2008 telah mengesahkan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Instrumen ini menjadi sangat penting bagi bank syariah sebagai pilihan utama risk-free instrumen. Dengan volumen SBSN yang besar, bank syariah tidak khawatir melakukan ekspansi besar-besaran karena tersedianya instrumen investasi yang likuid, risk-free, dan berimbal hasil tinggi.

Keempat, riset terakhir yang kami lakukan di tujuh kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makasar, dan Malang menunjukkan tingkat awareness yang sangat tinggi. Hampir seluruh responden (97,8 persen) pernah mendengar tentang bank syariah. Artinya, upaya sosialisasi selama ini membuahkan hasil yang optimal. Riset itu juga menunjukkan tingkat minat yang tinggi (71 persen) untuk menjadi nasabah bank syariah. Dan, yang paling menarik adalah dari nasabah yang belum menjadi nasabah bank syariah, 62,5 persen berminat menjadi nasabah bank syariah. Secara volume ini berarti 62,5 persen dari Rp 720 triliun yaitu Rp 450 triliun.

Kelima, kinerja perbankan syariah per Februari 2008 dapat menjadi starting point yang baik. Tiga BUS, 28 UUS, 117 BPRS, aset Rp 36,8 triliun, rasio pembiayaan bermasalah hanya 4,07 persen, ROA 1,81 persen, dan ROE 57,5 persen, jelas menjadi landasan yang kuat untuk pertumbuhan tinggi dalam semester kedua 2008.

Pertanyaan besar yang tersisa adalah, mengapa pangsa pasar perbankan syariah hanya 1,84 persen? Hasil riset kami menunjukkan hasil yang amat menarik. Pertama, nasabah bank syariah berminat meningkatkan alokasi dana mereka ke bank syariah dan memindahkan kredit konvensional mereka ke bank syariah bila bank syariah dapat memenuhi kebutuhan perbankan mereka sebagaimana yang mereka nikmati dari bank konvensional.

Banyak di antara responden yang mempertahankan melakukan transaksi dengan bank konvensional karena bank syariah belum dapat memenuhi kebutuhan perbankan mereka. Kedua, minat yang tinggi (62,5 persen) dari nasabah yang belum menjadi nasabah perbankan syariah ternyata diikuti dengan persepsi mereka bahwa kualitas layanan perbankan syariah belum dapat memenuhi standar kualitas layanan sebagaimana yang mereka dapatkan di bank konvensional.

Ketiga, baik nasabah bank syariah maupun nasabah nonbank syariah sama-sama mempunyai persepsi bahwa bank syariah mempunyai kantor sedikit dan sulit ditemukan (48 persen), jaringan ATM sedikit (32 persen), serta banknya tidak populer (14 persen).

Keempat, baik nasabah bank syariah maupun nasabah bank konvensional sama-sama mengharapkan agar bank syariah benar-benar menjalankan prinsip syariah (prioritas pertama), pelayanan yang cepat (peringkat kedua), pelayanan yang ramah (prioritas ketiga), pengelola yang profesional (prioritas keempat), dan pengetahuan pegawai bank syariah tentang produk bank syariah (prioritas kelima).

Hasil riset yang akan menjadi landasan pemberian awards bagi perbankan syariah di awal Mei ini, menyampaikan pesan penting bagi industri. Pertama, tampaknya telah terjadi pergeseran isu utama dalam industri, yaitu dari isu sosialisasi ke isu peningkatan layanan kualitas. Lihatlah betapa besar minat nasabah bank konvensional untuk pindah ke bank syariah bila kualitas layanan bank syariah dapat setara dengan standar yang mereka rasakan di bank konvensional.

Betapa besar pula minat nasabah bank syariah meningkatkan transaksi syariah mereka bila bank syariah dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka yang selama ini masih mereka dapatkan dari bank konvensional. Kedua, tampaknya target pasar bank syariah mulai bergeser dari intensifikasi nasabah eksisting perbankan syariah ke ekstensifikasi nasabah bank konvensional. Upaya memahami keinginan nasabah eksisting bank syariah tentu akan mendorong pertumbuhan bank syariah. Namun, memahami keinginan nasabah bank konvensional jelas akan mendorong pertumbuhan bank syariah pada tingkat kompetitif baru (new level of playing field).

Ketiga, berlindung pada isu tidak adanya instrumen untuk menyerap ekses likuiditas jelas tidak dapat diterima lagi. Adanya SBI Syariah dan SBSN telah menghilangkan keterbatasan bank syariah untuk menyerap sebanyak-banyaknya dana masyarakat.

Keempat, berlindung pada isu adanya pajak berganda jelas juga terasa mengada-ada dengan terbitnya SE BI yang memberikan kejelasan peran bank syariah sebagai pemberi pembiayaan, bukan sebagai penjual seperti yang selama ini dijadikan landasan pengenaan pajak ganda.

Jelaslah, cukup banyak alasan untuk mengatakan tahun ini merupakan momen emas bagi industri perbankan syariah bahkan industri keuangan syariah untuk mewarnai perekonomian Indonesia. Ini juga menjadi momen emas bagi perbankan syariah dunia untuk menunjukkan kekuatan keuangan syariah dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi dunia yang telah di ambang pintu.

Sumber: http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=15